Latest Entries »

SI CADEL

Dalam usianya yang renta, 89 tahun sekarang. Odas Sumadilaga masih mengingat benar banyak hal yang dia alami di seputar proklamasi kemerdekaan. “Masa-masa sebelum dan sesudah proklamasi merupakan masa yang serba tak menentu. Kita tak tahu orang yang kita ajak bicara itu kawan atau lawan. Oleh karena itu, sepanjang hari saya habiskan di studio. Makan dan tidur di sana, “kata mantan penyiar Bandung Hosyokyoku yang kini tinggal bersama keluarganya di Jalan Dr. Slamet Nomor 28 Bandung.
Odas, kelahiran Cianjur, 5 Mei 1921, masuk Hosyokyoku sejak 1 Mei 1942. Sebelumnya, lulusan NISVO Frobel Kweekschool tersebut mengajar di HIS ‘Pasundan’ II Bandung. Dia menjadi satu-satunya perempuan yang banyak terlibat dalam kegiatan penyiaran radio yang beralamat di seberang Lapangan Tegallega sekarang ini di Jalan Mohammad Ramdan.
Memasuki masa revolusi pascaproklamasi kemerdekaan, Odas melepas pekerjaan di Radio Republik Indonesia dan terpaksa ikut mengungsi ke Ciparay, Cicalengka dan terakhir ke Tasikmalaya. Di Tasikmalaya inilah dia melahirkan putri pertamanya, Yooce Rasyid. Sesudah keadaan tenang, dia kembali ke Bandung dan mengajar di beberapa taman kanak-kanak. Di masa tuanya, Odas aktif sebagai pengurus dan anggota dewan pertimbangan di berbagai Organisasi Wanita (BKOW), Yayasan Dewi Sartika, dan Wirawati Catur Panca.
Salah seorang kawan penyiar Odas, yang sama-sama pernah mengumandangkan teks proklamasi adalah Sakti Alamsyah. Suaranya yang cadel tak bias mengucapkan ‘r’, mengudara hingga Bagdad dan Amerika. Pria kelahiran sungai Karang, Sumatera Utara, 27 Januari 1922 tersebut kemudian terkenal sebagai tokoh persuratkabaran dengan merintis pendirian Pikiran Rakyat, Koran Jawa Barat. Yang mungkin tak banyak diketahui orang adalah kegemaran lain Sakti, yaitu mencipta lirik lagu. Beberapa karya tokoh yang meninggal pada 28 April 1983 itu antara lain adalah lirik lagu “Bintang Malam”, “Lukisan Malam”, “Bulan Sabit”, “Mengatur Barisan”, “Tiada Lagi”, dan “Aduh Seroja”.
Selain Odas dan Sakti, tes proklamasi juga disiarkan secara bergantian oleh beberapa pegawai Hosyokyoku yang lain, seperti Sam Amir dan R.A. Darya. Karena menjangkau seluruh dunia, proklamasi disiarkan tak hanya dalam Bahasa Indonesia, tetapi juga dalam Bahasa Inggris.
**
Radio Hosyokyuku, dengan jajaran pemimpin orang-orang Jepang, menyiarkan berita-berita yang sudah disensor dengan kepentingan Jepang. Lagu-lagu Barat yang akan disiarkan pun mesti melalui proses sensor. Menurut Odas, tak sedikit piringan hitam berisi lagu Barat yang sengaja dihancurkan orang Jepang dengan cara ditumbuk. Fungsi Hosyokyoku sebagai alat propaganda Jepang makin tampak ketika berkecamuk Perang Asia Timur Raya. “Berita-berita pertempuran melawan Inggris dan Amerika adalah berita-berita yang meresahkan dan mengganggu ketenangan bekerja,” kata Odas mengomentari upaya propaganda tersebut.
Hari-hari sebelum proklamasi pada 17 Agustus, suasana di Hosyokyoku sudah tak menentu. Bos-bos asal Jepang sudah sering absen ke kanor. Yang membuat deg-degan adalah keberanian para pegawai teknik mendengarkan siaran gelombang pendek yang dilarang. Dari sanalah, kabar kekalahan Jepang diperoleh. Jika kegiatan semacam itu ketahuan, hukuman dari ‘Saudara Tua’ bakal dating tanpa ampun.
Oleh karena itu, Odas dan seluruh pegawai ketakutan benar ketika pada suatu hari dating salah seorang petinggi radio asal Jepang. Merka sudah siap membubarkan diri, tetapi keburu dicegah sang bos. Namun, bukannya memberi hukuman, orang Jepang itu malahan merangkul para pegawai satu per satu dan memberikan semua barangnya, termasuk dompet dan jam tangan. Odas kebingungan menerima dompet tersebut. Akan tetapi, kemudian dia tahu, itu adalah semacam acara perpisahan dari “Si Jepang”.
Sesudah pengumandangan proklamasi, situasi di Bandung lebih tak karuan lagi. Ketegangan berlangsung setiap hari. Ada cerita tentang penangkapan pegawai-pegawai RRI oleh tentara Jepang. Beberapa orang ditangkap, tetapi Sakti yang jadi sasaran karena turut menyiarkan teks proklamasi konon justru lolos karena sedang membeli rokok ketika dua truk tentara datang. Namun, menurut Odas, taka da pegawai RRI yang ditangkap.
Yang justru diingat benar oleh Odas adalah insiden 20 Agustus pagi. Ketika itu, saat berjalan menuju studio dari rumahnya di Jalan Tegallega, didengarnya suara menggelegar. Dia pun segera tiarap di tengah lapangan. Dari sana, Dia melihat GEdung Radio Republik Indonesia, eks Hosyokyoku, dimortir hingga tiga kali. Menurut kabar, hal itu dilakukan para tentara Jepang dari Javasche Bank, sekarang Bank Indonesia.
Odas berfikir, studio tempatnya bekerja pastilah hancur. Pecahan kaca dan puing-puing dia temui berserakan di halaman. Namun, dugaannya salah. Ketika masuk studio, piringan hitam berisi lagu pembukaan RRI Bandung masih berputar. Yang hancur hanyalah ruang kepala teknik.
Pengalaman Odas dan Sakti menunjukkan kesungguhan dua pemuda dalam menyokong kemerdekaan lewat sumber daya yang mereka miliki. Dengan posisi apa pun, bahkan ‘Cuma’ seorang penyiar radio, orang dapat melibatkan diri dan mengambil pernan secara positif. Ini semua perkara keberanian memutuskan. Odas, Sakti, dan kawan-kawannya di Hoshokyoku melakukan itu. (Ag. Tri Joko Her Riadi/”PR”)***

Sumber: Pikiran Rakyat, 16 Agustus 2010.

Menelisik sejarah yang sekarang “diwariskan” secara turun-temurun kepada generasi bangsa, penulis buku Api sejarah Ahmad Mansur Suryanegara mengistilahkannya dengan sejarah “telur mata sapi”. “Ayam yang bertelur, tetapi sapi yang mendapat nama,” ujarnya.
Begitulah Mansur menyebutnya. Karena menurut dia, ada sejumlah fakta sejarah yang secara sengaja tidak dituliskan untuk menghilangkan peran kalangan yang dihapus tersebut. Salah satu fakta yang sengaja dihilangkan itu adalah peran Islam sebagai penggerak kemerdekaan di negeri ini.
Deislamisasi seolah menjadi term of reference (TOR) dalam penulisan sejarah yang kala itu, pascakemerdekaan, berada di bawah wewenang Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Padahal, dalam sejarah kemerdekaan, Islam melalui Sarekat Islam adalah penggerak pertama kemerdekaan Indonesia. Pada 1919, istilah nasional lahir melalui sebuah Kongres Nasional Sentra Sarekat Islam yang dilangsungkan di Gedung Concordia, Jalan asia Afrika 65 Bandung (sekarang Gedung Merdeka). Saat itu, belum ada tokoh komunis yang kemudian dalam sejarah justru disebut-sebut membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Islam juga berperan dalam melahirkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Isi Piagam Jakarta “…dengan berdasar kepada: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, …” yang saat itu kontroversial, meggambarkan peran tersebut.
Mansur mengatakan, ketika ada penggantian kalimat agar tidak lagi “berbau” Islam, Soekarno berembuk dengan para ulama pascaproklamasi. Kalimat-kalimat yang diganti tersebut kemuadian menjadi lima butir bunyi Pancasila yang diajarkan kepada generasi bangsa.
Saat Soekarno mengumandangkan proklamasi pun, sebenarnya masih ada perjalanan Sang Proklamator yang belum diceritakan sejarah. Soekarno mencari ketenangan batin tentang proklamasi yang penuh tanda tanya kepada para ulama.
Meski harus menempuh perjalanan panjang ke Jawa Timur, itu tetap ditempuh Soekarno untuk bertemu dengan K.H. Hasyim Asyari (Nahdlatul Ulama), lalu Abdul Mukti (Muhammadyah), juga Syekh Musa di Cianjur Selatan. Diceritakan juga saat di Cianjur tersebut, istri serta anak Soekarno yaitu Fatmawati dan Guntur, dititipkan di rumah camat setempat.
Fakta-fakta semacam itu dikaburkan dalam sejarah Indonesia. Dosen sejarah dari Universitas Padjadjaran Bandung itu mengatakan, Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan dipegang oleh Ki Hadjar Dewantoro yang beraliran kejawen yang menentang Islam.
**
Sejarah acap kali menampilkan banyak muka. Beragam teori dan kesaksian tak jarang saling berlawanan dikemukakan. Amat sering, kepentingan dan kekuasaanlah yang pada akhirnya paling berhasil menuliskan sejarah. “Keseluruhan sejarah seharusnya adalah fakta. Akan tetapi, tak semua adalah sejarah. Penentuan sejarah karena itu harus dilakukan dengan penelitian mendalam atas fakta-fakta, mencari yang paling relevan, “ ujar sejarawan dari Universitas Padjadjaran, Sobana Hardjasaputra.
Kajian mendalam itu pula yang menurut Sobana harus dilakukan dalam melihat sejarah penghilangan tujuh kata buatan Panitia Sembilan dalam rancangan UUD. Alasan bahwa para tokoh yang berkumpul di rumah Laksamana Maeda pada 16 Agustus malam untuk merumuskan teks proklamasi tidak membawa naskah hasil Panitia Sembilan, pantas ditelisik.
Sobana sendiri berpendapat, pembuatan teks proklamasi yang singkat atas usul Soekarno itu lebihdidasarkan pada unsur kemendesakkan yang amat terasa ketika itu. Setelah diculik pemuda ke Rengasdengklok, mau tak mau para pemimpin perjuangan mesti segera membuat keputusan. Disamping itu, situasi keamanan juga jadi pertimbangan. Pemilihan rumah Maeda senagai tempat berunding pastilah bukan sebuah kebetulan. “Keputusan harus dibuat saat itu juga. Kemendesakan ini yang membuat alur sejarah,” ucapnya.
Selanjutnya, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, ketika PPKI berkumpul untuk membahas dasar negara dan UUD, dinamika dialog berlangsung.. Sobana menyebutnya sebagai kebesaran jiwa para pemimpin Islam sehingga dengan tulus menempatkan kepentingan persatuan bangsa di atas kepentingan golongan, biar itu merupakan mayoritas. (Amaliya/Ag. Tri Joko Her Riadi/”PR”)***

Setelah teks proklamasi disiarkan, Kota Bandung diliputi kegembiran di tengah suasana mencekam. Beberapa pemuda pegawai RRI dilempari batu oleh pemuda-pemuda Indo-Belanda saat melintas di Bandung Utara untuk menyebarluaskan berita proklamasi. Meski membawa senjata, pemuda RRI tidak membalas provokasi tersebut sehingga tidak terjadi bentrok fisik.
Peristiwa menarik lain yang terjadi seputar pegawai RRI Bandung, terjadi pada 18 agustus pagi. Sesuai dengan kesaksian Sakti Alamsyah, salah seorang penyiar RRI, dua truk berisi tentara Jepang ke studio di seblah timur Lapangan Tegallega dan menangkap beberapa pegawai. Sakti sendiri lolos dari penangkapan karena sedang keluar membeli rokok. “Tidak semua penyiar, teknisi, dan pegawai ditangkap oleh Jepang, sehingga dengan tenaga sisa, kami malam harinyatetap bersuara di udara. Semboyan kami adalah sekali di udara tetap di udara,” ujar Sakti sebagaimana tertulis dalam buku Djen Amar, Bandung Lautan Api (1963).
Dua hari setelsh kejadian tersebut, seperti diceritakan Odas Sumadilaga, rekan penyiar Sakti, terjadi insiden ledakan di studio RRI. Kamar Kepala Teknik hancur dimortir tentara Jepang dari puncak Javashe Bank, sekarang gedung Bank Indonesia, di Jalan Braga. Tidak ada kerusakan parah akibat serangan tersebut sehingga siaran radio tetap dilanjutkan. Studio RRI bahkan kemudian menjadi salah satu markas pemuda pejuang dalam masa revolusi fisik yang kemudian hari memuncak dalam peristiwa Bandung Lautan Api.
Di Bandung, terjadi juga pengambilalihan berbagai instansi penting yang dikuasai Jepang oleh para pemuda atau pegawai instansi yang berbangsa Indonesia. Kaang-kadang, pengambilalihan dilakukan dengan paksaan, tetapi kebanyakn orang Jepang secara sukarela meyerahkan kantor mereka karena sadar tak punya lagi kekuatan. Beberapa instansi yang diambil-alih diantaranya, PTT (Pos, Telegraf dan Telefoni), stasiun radio, Jawatan Kerata Api, dan ACW.
Aksi pengibaran Bendera Merah Putih tejadi dimana-mana, di seluruh penjuru kota. Salah satu peristiwa menarik terjadi pada awal Oktober 1945. Masyarakat Belanda yang baru saja keluar dari interniran tetap saja menganggap Indonesia belum merdeka sehingga bendera kebangsaan mereka terus dikibarkan. Di Gedung Denis, yang sekarang Bank Jabar, Endang Karmas menyobek kain warna birunya dengan bayonet sehingga tinggal Merah Putih yang berkibar utuh. (Ag. Tri Joko Her Riadi/”PR)***

Sumber: Pikiran Rakyat, 16 agustus 2010.

Tahun ini, kita kembali memperingati Hari Proklamasi Kemeredekaan Negara kita yang bersejarah. Peringatan kali ini terasa sangat istimewa karena bertepatan dengan Ramadan yang penuh berkah dan ampunan Allah SWT. Enam puluh lima tahun yang lalu, pada Jumat tanggal 17 Agustus 1945 bertepatan dengan tanggal 9 Ramadan 1364 Hijriah, Soekarno dan Hatta, memproklamasikan Negara Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Bukankah sebuah kebetulan, jika proklamasi kemerdekaan, dipilih pada hari Jumat di bulan suci Ramadan. Mari kita buka kembali catatan sejarah sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Kamis, tanggal 16 Agustus 1945, pukul 4.00 WIB, ketika waktu sahur tiba, Soekarno dan Hatta, oleh sekelompok pemuda dibawa ke Rengasdengklok. Para pemuda, terus menekan Soekarno dan Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan pada hari itu juga.
Di sebuah pondok bamboo berbentuk panggung di tengah persawahan Rengasdengklok, siang itu terjadi perdebatan panas antara Soekarni dari tokoh pemuda dengan Soekarno dari tokoh senior sebagaimana dilukiskan Lasmidjah Hardi (1984:61). “Revolusi berada di tangan kami sekarang. Dan kami memerintahkan Bung! Kalau Bung tidak memulai revolusi mala mini, lalu…” teriak Soekani. “Lalu apa?” teriak Bung Karno sambil beranjak dari kursinya, dengan kemarahan yang menyala-nyala. Semua terkejut, tidak seorang pun yang bergerak atau berbicara.
Waktu suasana tenang kembali. Setelah Bung Karno duduk. Dengan suara rendah ia mulai berbicara, “Yang paling penting di dalam peperangan dan revolusi adalah saatnya yang tepat. Di Saigon, saya sudah merencanakan seluruh pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal 17. “Soekarni menyela, “Mengapa justru diambil tanggal 17, mengapa tidak sekarang saja, atau tanggal 16?”
Dengan tenang Soekarno menjawab, “Saya seorang yang percaya pada mistik”. Saya tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat yang baik. Angka 17 adalah angka suci.”
“Pertama-tama kita sedang berada dalam Ramadan, waktu kita semua berpuasa. Ini berarti saat yang paling suci bagi kita. Tanggal 17 besok hari Jumat. Hari Jumat itu Jumat Legi. Jumat yang berbahagia, Jumat suci. Alquran diturunkan tanggal 17. Orang Islam sembahyang 17 rakaat. Oleh karena itu, kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia.” Soekarno menjelaskan argumentasinya dengan lirih.
Dan perdebatan itu tidak membuahkan hasil. Akhirnya, Soekarno dan Hatta “dikembalikan” ke Jakarta. Di rumah Laksamana Maeda, malam itu juga dirumuskan naskah proklamasi.
Detik-detik proklamasi
Hari Jumat, di bulan Ramadan, pukul 5.00 WIB, fajar 17 Agustus 1945 memancar di ufuk timur. Embun pagi masih menggelantung di tepian daun. Para pemimpin bangsa dan para tokoh pemuda keluar dari rumah Laksamana Maeda, dengan diliputi kebanggaan setelah merumuskan teks proklamasi hingga dini hari. Mereka telah sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia hari itu di rumah soekarno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pukul 10.00 pagi.
Menjelang pelaksanaan proklamasi kemerdekaan, suasana di Jalan Pegangsaan Timur 56 cukup sibuk. Wakil Wali Kota, Soewirjo, memerintahkan kepada Mr. Wilopo untuk mempersiapkan peralatan yang diperlukan seperti mikrofon dan bebarapa pengeras suara. Sementara Sudiro memerintahkan kepada S. Suhud untuk mempersiapkan satu tiang bendera. Karena situasi yang tegang, Suhud tidak ingat bahwa di depan rumah Soekarno itu, masih ada dua tiang bendera dari besi yang tidak digunakan. Malahan ia mencari sebatang bamboo yang berada di belakang rumah. Bambu itu dibersihkan dan diberi tali. Lalu ditanam beberapa langkah saja dari teras rumah. Bendera yang dijahit dengan tangan oleh Nyonya Fatmawati Soekarno, sudah disiapkan. Bentuk dan ukuran bendera itutidak standar, karena kainnya berukuran tidak sempurna. Memang, kain itu awalnya tidak disiapkan untuk bendera.
Upacara itu berlangsung sederhana saja. Tanpa protocol. Latief Hendraningrat, salah seorang anggota PETA, segera memberi aba-aba kepada barisan pemuda yang telah menunggu sejak pagi untuk berdiri. Serentak semua berdiri tegak dengan sikap sempurna. Latief kemudian mempersilakan Soekarno dan Hatta maju beberapa langkah mendekati mikrofon. Dengan suara mantap dan jelas, Soekarno mengucapkan pidato pendahuluan singkat sebelum membacakan teks proklamasi.
“Saudara-saudara sekalian, saya telah minta saudara hadir di sini, untuk menyaksikan suatu peristiwa mahapenting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah berates-ratus tahun. Gelombangnya aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya ada turunnya. Tetapi jiwa kita tetap menuju kea rah cita-cita. Juga di dalam zaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti.
Di dalam zaman Jepang ini tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka. Tetapi pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendiri. Tetap kita percaya pada kekuatan sendiri. Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan tanah air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya.
Maka kami, tadi malam telah mengadkan musyawarah dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia, permusyawaratan itu seia-sekata berpendapat bahwa sekaranglah dating saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita.
Saudara-saudara! Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah Proklamasi kami: Proklamasi; Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta, 17 agustus 1945. Atas nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta.
Demikianlah saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka. Tidak ad satu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita! Mulai saat ini kita menyusun Negara kita! Negara merdeka, kekal, dan abadi. Insya Allah, Tuhan memeberkati kemerdekaan kita itu.”
Itulah kisah terindah bagi kita, kemerdekaan yang diraih di bulan Ramadan yang penuh berkah dan ampunan. Oleh karena itu pula, tidak salah kiranya jika Ramadan dikatakan sebagai bulan kemerdekaan. Wallahualam. (H. Dadan Wildan, Staf Ahli Menteri Sekretaris Negara RI)***
Sumber: Pikiran Rakyat, 16 Agustus 2010.

Oleh : Prof. Dr. H. Edi S. Ekadjati

Aktivitas-aktivitas Masyarakat
Melengkapi Diri
a. Setelah mendengar desas-desus berita tentang penyerahan Jepang kepada Sekutu, pada hari Selasa pagi tangga 14 Agustus 1945 sekitar jam 09.00 lima orang pemuka kota Bandung yang merupakan inti Barisan Pelopor mengadakan pertemuan di rumah Ir. Ukar Bratakusumah di jalan Wastukancana dekat BAlai Kota Bandung sekarang. Kelima orang dimaksud adalah dr. R. Junjunan Setiakusumah, R. Ema Bratakusumah, Anwar Sutan Pamuncak, Ir. Ukar Bratakusumah, dan Duyeh Suharsa. Mereka secara diam-diam berkumpul dan membicarakan situasi dunia dan dunia umumnya dan situasi kota Bandung khususnya setelah kekalahan Jepang serta sikap untuk menghadapi kemungkinan bila pengumuman tentang kemerdekaan dilakukan dengan segera. Pertemuan tersebut menghasilkan kesimpulan sebagai berikut.
1. Segera membentuk suatu panitia,
2. Sudah tiba saatnya Indonesia mengumumkan kemerdekaannya,
3. Kita akan segera menghadapi suatu revolusi,
4. Jika tidak segera dicegah, di Bandung akan terjadi kekacauan dan perampokan,
5. Perlu ikut menentramkan kota Bandung,
6. Akan meminta walikota Bandung R.A. Atma di Nata agar menyerahkan kekuasaan kepada panitia,
7. Utusan untuk menemui walikota ditunjuk Duyeh Suharsa dan Anwar Sutan Pamuncak.
Ternyata Walikota Bandung R.A. Atma di Nata tidak menyetujui permintaan panitia itu, dengan alasan belum ada perinah dari Jepang. Walaupun utusan itu telah menjelaskan bahwa Jepang telah menyerah, karena itu tidak akan mengeluarkan perintah lagi, melainkan sekarang sekarang kita harus berdiri sendiri, toh sikap walikota tetap tidak berubah (Pemda Tingkat II Kodya Bandung, 1981: 99-101).
b. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dilisankan oleh Ir. Soekarno di Jakarta hari Jum’at tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 sampai beritanya ke Bandung hari itu juga berkat saluran komunikasi Dumei. Wartawan harian Tjahaja; Moh. Kurdi, Bary Lukman, Ahmad Sarbini, Dayat Harjakusumah, dan Koswara Koko, bertindak cepat untuk menyebarluaskan berita proklamasi itu sesuai dengan insting kewartawanannya. Atas izin seniornya, Bary Lukman menuliskan teks proklamasi pada papan tulis dan ditempatkan di depan kantor harian Tjahaja, kemudian mengibarkan bendera Sang Saka Merah Putih di atas Gedung Denis (Bank Jawa Barat sekarang) di Jalan Braga. Benderanya sendiri milik Jawa Hokokai pimpinan Isa Anshari (Simpai Siliwangi, 11 September 1978). Dengan begitu, setiap orang yang lewat depan kantor Tjahaja dapat membaca proklamasi itu sehingga mengetahui telah tercapai kemerdekaan.
Para pegawai Bandung Hosokyoku (Radio Bandung) berusaha menyiarkan teks proklamasi Kemerdekaan keesokan harinya (18 Agustus 1945), setelah teks proklamasi itu diperoleh. Pembacaan teks proklamasi dilakukan oleh Syakti Alamsyah dengan dukungan teknik R.A. Darya, Sam Amir, Odas Sumadilaga, Herman Gandasasmita, Moh. Saman, Memet Sudiono, Brotokusumo, Abdulrazak Rasyid serta keamanan Sofyan Junaid. Sebelum teks proklamasi dibacakan, terlebih dahulu dikumandangkan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Siaran itu disampaikan juga dalam bahasa Inggris karena siarannya ditujukan pila ke luar negeri sehingga berita kemerdekaan Indonesiaitu tidak hanya didengar di Indonesia, melainkan kemungkinan didengar pula oleh orang di luar negeri.
Ili Sasmita pimpinan Percetakan Siliwangi berinisiatif untuk mencetak teks Proklamasi Kemerdekaan dalam jumlah banyak. Brosur tersebut kemudian disebarluaskan kepada penduduk kota Bandung (Wawancara Ace Bastaman, 20 Maret 1966 dan 6 Juni 1980).
Beberapa hari kemudian, para pegawai Bagian Teknik dan Penyiaran Studio Bandung yang telah menamakan dirinya Radio Republik Indonesia memberikan penerangan tentang proklamasi kemerdekaan kepada masyarakat di sekitar kota Bandung melalui pengeras suara yang dipasang pada dua buah mobil pick up. Mereka mendatangi Dayeuhkolot, Banjaran, Soreang, Ciparay, Majalaya, Rancaekek, Ujungberung, Cimahi, Padalarang (Rasjid, 1976:123-142). Dengan cara-cara tersebut di atas, maka Proklamasi Kemerdekaan tersebar luas di kalangan masyarakat kota Bandung dan sekitarnya, apabila diantara mereka tentu menyampaikan lagi secara lisan dari mulut ke mulut mengingat pentingnya berita itu.
Sumber: Ekadjati, Edi S. Peranan Masyarakat Bandung dan Sekitanya dalam Perjuangan Kemerdekaan 1945-1949. Depdikbud. Dirjen Kebudayaan. Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. Bandung:1995.

16 Mei 1945
Dilaksanakan Kongres Pemuda Seluruh Jawa di Kota Bandung, membahas tentang upaya persiapan Proklamasi Kemerdekaan, yang bukan merupakan hadiah dari Jepang.
11 – 12 Agustus 1945
Penguasa Jepang memerintahkan agar seluruh radio menghentikan operasional siarannya. Tentara Jepang bahkan mengunci pintu-pintu studio, mencabut lampu-lampu pemancar dan peralatan penting lainnya. Kunci beserta lampu-lampu tersebut kemudian mereka rampas, sehingga pemancar tidak berfungsi.
Namun R.A. Darya dan Sakti Alamsyah yang didukung puluhan pemuda radio, berhasil merebut kembali barang-barang yang disita. Para tentara Jepang bahkan segera pergi meninggalkan studio.
14 Agustus 1945
Setelah berita Jepang menyerah kepada Sekutu terpantau, para pemuda Bandung bersatu merebut radio siaran milik Jepang untuk dijadikan alat siaran dalam melanjutkan perjuangan kemerdekaan.
15 Agustus 1945
Radio Bandung (Bandung Hosyokyoku) membangkang dan baru menghentikan siaran, meski pemerintah Jepang sudah menginstruksikan penghentian siaran sejak 11 Agustus 1945.
16 Agustus 1945
Para pemuda yang bekerja di stasiun Radio Hosyokyoku di Bandung mendapatkan permintaan untuk mengirimkan dua orang teknisinya ke Jakarta untuk kepentingan pembacaan Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Tugas teknisi ini adalah menyadapa suara Bung Karno kemudian meneruskannya ke Radio Bandung melalui telefon untuk disebarluaskan.
17 Agustus 1945
Pagi hari
Sakti Alamsyah, R.A. Darya, dan Sam Kawengke menghadap para pimpinan Hosokyoku, yang didampingi sejumlah tentara Jepang. Dengan sopan ketiga pemuda ini meminta kepada pihak Jepang agar studio diserahkan kepada Indonesia.
Tiba-tiba terdengar letusan senjata api. Ternyata salah seorang anggota pemuda radio menembak tentara Jepang yang berupaya melawan. Peristiwa ini menciutkan hati Jepang. Mereka kemudian meyerahkan kunci-kunci dan peralatan penyiaran yang semula disita dan pergi meninggalkan studio.
Saat Proklamasi
Usaha penyadapan gagal akibat ketatnya penjagaan dan diputusnya saluran telefon oleh tentara Jepang.
Versi 1
Kepala Siaran Radio Jakarta, Muin yang memiliki naskah proklamasi dari Adam Malik (pimpinan Antara) mengambil inisiatif untuk mengirimkan teks proklamasi ke Radio Siaran Bandung melalui kurir, yang kemudian diketahui bernama Mohammad Adam (sahabat Adam Malik).
Pukul 17.00 waktu Jawa saat itu, teks proklamasi diterima oleh R.A. Darja sebagai pimpinan siaran Radio Bandung. Pada saat yang sama, Radio Jakarta berhasil menyiarkan teks proklamasi kemerdekaan tetapi dengan pemancar kecil.
Pada pukul 19.00 waktu Jawa saat itu, R.A. Darja berhasil mengudara dan mengumandangkan kata-kata, “Di sini Bandung, siaran Radio Republik Indonesia.” Di sela-sela siaran terdengar lagu tradisional Sunda yaitu degung ladrak dan kesenian lengser. Kemudian pemuda Sakti Alamsyah membacakan naskah proklamasi.
Berita proklamasi Kemerdekaan dibacakan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, kemudian disiarkan kembali pukul 20.00, 21.00, dan 22.00 waktu Jawa. (Sumber: Dokumentasi RRI Bandung).
Versi 2
Sore hari, kedua teknisi dari Jakarta (Sukiyun dan Mislan) tiba di Bandung dan melaporkan bahwa Jepang telah menduduki studio sehingga tidak mungkin untuk menerobos dan menyiarkan berita proklamasi.
Kantor Berita Domei di Bandung menerima kawat berisi teks proklamasi yang kemudian oleh para pegawai kantor berita itu dimuat di dalam bulletin berita Domei.
Sebelum surat kabar Tjahaja sempat memuat berita proklamasi, pihak Jepang telah membuat larangan penyebarluasan berita proklamasi di surat kabar.
Wartawan surat kabar Tjahaja menempuh cara lain, yakni menuliskan berita proklamasi kemerdekaan di papan tulis, lalu dipancangkan di depan kantor.
Pengumuman surat kabar Tjahaja dibaca oleh masyarakat yang melewati gedung kantor dan meneruskan berita tersebut ke kahalayak ramai.
Setelah pemuda Hosyokyoku berhasil menemukan berita proklamasi dari bulletin Domei, penyiar saat itu, Sakti Alamsyah dan rekan-rekannya antara lain, Hasyim Rachman, Sofyan Djunaidi, Sam Amir, Abdul Razak, Odas Sumadilaga, Sutarno Brotokusumo, dan R.A. Darja bertekad akan menyiarkan proklamasi kemerdekaan.
Pada 19.00 waktu Jawa saat itu, dengan menggunakan panggilan Radio Republik Indonesia (RRI), berita proklamasi kemerdekaan dibacakan oleh Sakti Alamsyah dan rekan-rekan dalam bahasa Inggris. Kemudian disiarkan kembali pukul 20.00, 21.00, dan 22.00 waktu Jawa.
Penggunaan nama Radio Republk Indonesia menggantikan nama Bandung Hosyokyoku adalah yang pertama kali dilakukan di Indonesia.
Pembacaan proklamasi kemerdekaan dari RRI Bandung terdengar hingga Amerika Serikat. Diduga dunia internasional pun mendengar berita ini, karena seorang warga Indonesia yang berada di Arab Saudi menyatakan mendegar siaran Radio Bandung.
Beberapa pemuda pegawai RRI Bandung kemudian menyiarkan berita proklamasi dengan berkeliling menggunakan mobil di Bandung dan Cimahi. Mereka membawa senjata untuk menghadapi segala kemungkinan.
Ketika berkeliling di Bandung Utara, mereka dilempari batu oleh pemuda-pemuda Indo-Belanda yang baru keluar dari interniran. Namun kejadian ini tidak berdampak jauh dan para pemuda RRI yang tidak membalas. (Sumber: Saya Pilih Mengungsi, Pengorbanan Rakyat Bandung untuk Kedaulatan. 2002)
18 Agustus 1945
Pukul 9.00 waktu Jawa saat itu, RRI Bandung didatangani satu truk pasukan Jepang menangkapi pegawai RRI yang berada di kantor. Namun karena tidak semua pegawai yang ditangkap, siaran RRI dapat dilanjutkan pada malam harinya.
Penyiar RRI Bandung yang bernama Odas Sumadilaga, membaca teks proklamasi kemerdekaan RI pada hari kedua di Radio Bandung

29 Agustus 1945
KNI Kota Bandung dibentuk dan berfungsi mendampingi Wali Kota RA. Atmadinata menjalankan roda peemrintahan.
15 September 1945
Untuk mengkoordinasikan badan-badan perjuangan yang marak dibentuk di Bandung pada awal revolusi, dibentuklah Madjelis Dewan Perdjoangan Priangan (MDPP) yang bermarkas di gedung HIS Pasundan (Jalan Kabupaten)
September-Oktober 1945
Para pemuda pejuang di Bandung melancarkan aksi merebut senjata Jepang. Biasanya hal ini diawali dengan perundingan, untuk mencegah jatuhnya korban. Namun, jika tidak berhasil maka para pemuda akan merebut dengan bersenjatakan apa saja. Pertempuran yang terjadi kerap disebabkan oleh kecelakaan atau salah paham.
Oktober 1945
Terjadi insiden penyobekan bendera di Gedung DENIS atau De Eerste Nederlands-Indische Spaarkas en Hypotheekbank (sekarang Bank Jabar) yang terletak di Jalan Braga. Aksi ini dilakukan oleh dua orang pemuda yang bernama Mulyono dan Endang Karmas.
4 Oktober 1945
Terjadi perundingan rahasia antara Mayjen Mabuchi dan Residen Priangan R. Puradiredja mengenai pengalihan senjata dari Jepang kepada BKR. Perundingan rahasia ini dinilai sebagai siasat mengulur waktu dari pihak Jepang untuk menunggu kedatangan pasukan Sekutu.
9 Oktober 1945
Pemuda Indonesia menyerbu ACW di Kiaracondong. Insiden ini dianggap sebagai pelanggaran terhadap perundingan rahasia antara tentara Jepang dan Residen Priangan saat itu.
10 Oktober 1945
Jenderal Mabuchi memerintahkan tentara Jepang agar menarik kembali senjata yang telah beredar di dalam kota. Tentara Jepang begerak dengan kendaraan lapis baja menyerang berbagai tempat penting di Kota Bandung yang dikuasai para pejuang. Jepang benar-benar mengamuk dan melakukan razia senjata api di dalam kota.
12 Oktober 1945
Wali Kota Bandung Atmadinata mengadakan balas dendam kepada Jepang dengan mempersiapkan pasukan perjuangan. Objek yang akan diserang adalah Jaarbeurs (Markas Kodiklat TNI sekarang), Andir, dan markas Jepang di Tegallega.
15 Oktober 1945
Brigade Mac Donald, bagian dari Divisi ke-23 datang ke Bandung. Sejak kedatangan tentara Inggris ini, sifat pertempuran bergeser dari perebutan senjata menjadi mempertahankan kedaulatan wilayah RI di Bandung. Konflik bersenjata ini meluas dan melibatkan tentara Inggris yang melindungi NICA (Netherlands Indie Civil Administration).
26 November 1945
Pimpinan Tentara Inggris di Kota Bandung, Brigjen MacDonald memerintahkan agar barikade dibersihkan dari jalan-jalan. Jenderal ini mengancam jika hingga pukul 12.00 para pejuang tidak membersihkan barikade, pasukan Inggris sendiri yang akan membersihkannya. Ada pejuang yang menaati perintah tersebut da nada yang membangkang.
Pukul 12.15 waktu Jawa saat itu, terjadi tembak menembak antara pasukan Inggris dan para pejuang.
27 November 1945
Brigjen MacDonald mengultimatum penduduk pribumi di Bandung Utara, dengan batas rel kereta api, harus pindah ke selatan.
28 November 1945
Sarang pejuang di sekitar daerah Haurpancuh, Cihaurgeulis, Sekeloa, Sadangsaip, dan Sadang Serang digempur habis-habisan. Namun para pejuang tetap melawan sekuat tenaga.
29 November 1945
Menjadi batas waktu ultimatum bagi penduduk pribumi untuk mengungsi. Jika ada yang melanggar akan ditangkap dan pejuang bersenjata akan ditembak mati.
Ternyata hanya sedikit penduduk pribumi yang mengungsi ke selatan dan hal ini memicu kemarahan Inggris.
Inggris menyerang pemukiman para pejuang dengan membabi buta, termasuk rumah-rumah penduduk dan rumah perawatan orang buta.
2 Desember 1945
Sekitar pukul 10.00 waktu Jawa saat itu, Inggris berencana membebaskan penduduk interniran di daerah Lengkong. Inggris yang tidak mempercayai pejuang Bandung mengerahkan ersenjataan berat ke daerah Lengkong dan mengakibatkan terjadinya pertempuran besar.
6 Desember 1945
Sekitar pukul 7.00 pasukan gabungan Inggris kembali melakukan serangan dari darat dan udara ke daerah Lengkong pada 6 Desember 1945. Pertempuran meluas sampai ke daerah Pungkur, Pasundan dan Tegallega. Tempat lain yang menjadi sasaran serbuan tentara Inggris adalah Cicadas. Korban yang tercatat dari pihak RI, yaitu 119 orang meninggal dunia, 82 luka berat dan 159 luka ringan.
14 Desember 1945
Madjelis Dewan Perdjoangan Priangan (MDPP) berubah nama menjadi Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3).
Terjadi lagi sebuah serbuan besar-besaran oleh pasukan Inggris ke daerah Cicadas. Serbuan diawali dengan menghancurkan bangunan dan toko-toko. Selang beberapa jam, pasukan tank Inggris bergerak dan mengarahkan moncongnya kepada para pejuang. Serangan ini mengakibatkan banyak sekali korban terutama penduduk sipil.

Oleh : Ahmad Mansyur Suryanegara

Sepintas penyebaran berita Proklamasi tanpa masalah. Tetapi pada masa damai timbullah bentuk pengakuan yang sangat berguna. Walaupun pada masalah yang sama dan di tempat yang tidak berbeda. Sebagai missal siapa yang pertama mengibarkan Sang Merah Putih di Gedung Dennis Jalan Braga pada saat sesudah Proklamasi. Ternyata ada dua dua macam berita: Pertama Barry Loekman sebagai wartawan surat kabar Tjahaja. Kedua, Wangsaatmadja setelah menjadi Waki Kota Bandung memberikan informasi kepada Simpay Siliwangi. Walaupun pada penerbitan berikutnya bantahan dari Barry Loekman dimuat pula.
Gambaran dua versi seperti versi di atas banyak terjadi pada masa damai. Apalagi para pelaku yang memiliki posisi, sering memberikan penuturan kepengalaman masa lalunya, melalui media yang mampu menimpa informasi sebelumnya.
Tanggal Islam sebagai Judul Berita
Selain itu, juga cara pemberitaan surat kabar pada masa 1945-1949, pada peristiwa kemenangan yang monumental, bergaya Islami. Kendatipun surat kabar tersebut bukanlah milik organisasi Islam. Misalnya pemberitaan surat kabar Kedaulatan Rakjat Kamis Pahing 6-12-1945, 1 Sjoera-Djimawal 1877/1365 :
Hari ini Peringatan 1 Sjoera 1877/1365
Sang Merah Poetih berkibar diatas Benteng Willem 1
Demikian pula pemberitaan Kedaulatan Rakjat, Senen Pon, 17-12-1945 Soera 1877/1365:
TGL: 17 PERINGATAN HARI KEMERDEKAAN INDONESIA
Kota Ambarawa seloeroehnja ditangan kita.
Moesoeh melarikan diri ke Semarang
Tepat tg 10 Soero, hari kemenangan di Ambarawa
Dari sistem pemberitaan dengan mengangkat tanggal Komariyah sebagi perincian suatu kemenangan Perang Kemerdekaan tidak lagi dilakukan oleh surat kabar di masa damai. Situasi perang membentuk situasi pikiran dalam suasana dekat dengan Allah dan Ulama. Oleh karena itu, isi pemberitaannya pun juga memuat pelaku sejarahnya tidak dilupakan Ulamanya.
Kembali ke masalah Proklamasi dan proses pelakunya penyebaran beritanya ke Bandung sampai sekarang masih belum mapannyapengakuan pelakunya siapa. Semula saling ketakutan menyembunyikan diri dari ancaman Balatentara Jepang, tidak berani berbuat. Sampai masa damai dan terlihat betapa besarnya sambutan rakyat terhadap nilai Proklamasi, membuat banyak pelaku sejarah bermunculan. Pengakuan kembar pada masalah yang sama, kadang menyulitkan sejarawan untuk menyimpulkannya. Apalagi bila salah satu pelakunya memiliki jabatan tertentu dan yang lainnya berada pada posisi ekonomi yang kurang.
Hambatan Penyiaran Teks Proklamasi
Proklamasi 17 Agustus 1945 atau 9 Ramadhan 1364 yang dibacakan oleh Bung Karno, di Pegangsaan Timur 56, di hadapan pimpinan terbatas bangsa Indonesia, ternyata sampai juga di Bandung. Kendati saat itu pemerintahan Balatentara Jepang tidak membenarkan segenap upaya penyiaran Proklamasi, namun para pejuang berita Domei berhasil menyebarkan beritanya sampai ke Bandung. Logika sekarang ini, keberhasilan menyeberangkan berita dari Jakarta ke Bandung seperti bukanlah sebagai suatu prestasi kerja yang dapat dibanggakan. Namun bagi generasi 1945 yang hidup di bawah penindasan pemerintah Balatentara Dai Nippon yang sangat represif terhadap aktivitas rakyat dan pengawasan yang sangat ketat terhadap penyaebaran berita, dapat memahami tingkat kesukarannya. Apalagi yang mengerti penguasaan system penyebaran berita (flow of information) sebagai bagian dari news imperialism (Anthony Smith, 1980: 68). Bagi Jepang, kegiatan propaganda merupakan bagian penting dari penguasaan territorial. Tidaklah heran bila menyiarkan berita Proklamasi menemui kesulitan yang rumit sekali saat itu. Oleh karena itu, penyebaran beritanya ke Bandung dapat dilaksanakan dengan melalui fasilitas kantor berita Domei milik Jepang, sebagai suatu karya revolusi yang pantas dibanggakan. Dan lagi Jepang sebagai penjajah, tidak berpihak pada gerakan kemerdekaan. Buktinyanya program setelah menyerah pada 14 Agustus 1945, akan menyerahkan kembali kepada Kerajaan Protestan Belanda dan Sekutu. Dengan memperhatikan kesulitan penyampaian dan penyebaran berita Proklamasi ke tengah masyarakat Bandung saat itu, maka seyogyanya para pelaku penyebar berita, diangkat oleh sejarawan sebagai patriot yang pantas namanya terukir dalam lembaran sejarah. Apalagi para pelaku tersebut tidak terlihat dalam gerakan terlarang. Banyak sudah nama-nama yang tertuliskan, namun terdapat pelaku yang terlupakan. Barangkal;I pelaku yang akan sampaikan ini akibat tidak menduduki posisi formal kepemerintahan.
Pertemuan saya dengan pelaku penyebar berita Proklamasi, dan pengibar Sang Saka Merah Putih di Bandung, Barry Loekman dalam proses peneybaran berita dan pengibaran Merah Putih yang pertama saat sesudah Proklamasi dibacakan di Jakarta.

Penulisan Proklamasi di Papan Tulis
Barry Loekman sebagai wartawan dari surat kabar Tjahaja yang di Bawah Oto Iskandar Dinata (Pimpinan Umum) dan Bratanata (Pimpinan Redaksi), memungkin cepat mengetahui adanya Proklamasi di Jakarta. Peranan Barry Loekman dalam penyiaran Proklamasi, berbeda dengan M. Koerdi dari Sipatahoenan. Dijelaskan bahwa M. Koerdi sebagai penerima teks proklamasi, sedangkan Barry Loekman yang menuliskan teks Proklamasi di papan tulis dengan kapur. Papan tulis mula-mula digantungkan di depan bekas kantor Algemeene Indische Dagblaad (AID) atau pada pendudukan Jepang, kantor surat kabar Tjahaja. Sekarang gedung tersebut sudah direnovasi, sehingga suli dicarikan wujud lamanya. Berada di depan gedung PLN jalan Asia Afrika.
Posisi papan tulis yang digantung terlalu tinggi ini, menyukarkan untuk dibaca oleh umum. Kemudian diturunkan di bawah dekat pintu masuk kantor Tjahaja. Dengan demikian banyak masyarakat yang lewat membacanya. Tentu hal ini, tidak berumur panjang, karena tentara Jepang segera mengetahui adanya penyebaran berita Proklamasi. Dilarangnya untuk tetap terpampang, walaupun hanya di atas papan tulis.
Penularan berita dari mulut ke mulut, menjadikan masyarkat Bandung, memahami adanya Proklamasi yang sudah dibacakan oleh Bung Karno, serta ditandatangani oleh Bung Karno dan Bung Hatta.
Pengibaran Sang Merah Putih
Sehari setelah Proklamasi, 18 Agustus 1945, setelah adanya perumusan awal Pancasila dan UUD 1945 oleh kelima tokoh: Wahid Hasyim (Nahdlatul Ulama), Ki Bagus Hadi Kusumo, dan Kasman Singodomedjo (Muhammadyah), serta wakil Sumatera, Mohammad Hatta dan Mohammad Teuku Hassan, kemudian disahkan oleh PPKI (Mohammad Hatta Memoir, 1982:459), maka bangsa dan Negara Indonesia memiliki landasan idiil Pancasila dan konstitusional UUD 1945 yang sah. Proses pengesahan ini sekarang disebutkan dengan nama kota di Jakarta, dan Jakarta sekarang sebagai DKI dan Ibu kota RI. Tetapi secara historis, Jakarta saat itu ditentukan sebagai wilayah yang berada di propinsi Jawa Barat dan ibukota RI. Pada saat pertemuan PPKI 18 Agustus 1945, diputuskan pula oleh Bung Karno dan Bung Hatta diangkat sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI. Peristiwa ini berhasil cepat PPKI menyetujui pengangkatan tersebut, didahului usul dari Otto Iskandar Dinata. Kemudia ditanggapi secara aklamasi anggota dan pimpinan PPKI menyetujuinya. Perlu dicatat, bahwa Barry Loekman sebagai pengawal pribadi Otto Iskandar Dinata. Oleh karena itu, dengan adanya mengetahui RI telah memiliki Presiden dan Wakil Presiden, Barry Loekman mengambil inisiatif mengibarkan bendera Sang Saka Merah Putih di Gedung Dennis Jalan Braga. Merah Putoh diperoleh dari Isa Anshari yang saat itu termasuk salah seorang aktivis Jawa Hokokai yang berkantor di dekat Bank sebelah utara Alun-alun Bandung. Diserahkannya bendera dalam ukuran yang besar, kepada Barry Loekman. Peristiwa ini sebagai saat pertama berkibarnya Sang Merah Putih sesudah Proklamasi, dan Barry Loekman adalah pelaku pengibarnya. Mengapa dipilihnya gedung Dennis Jalan Braga (sekarang kalau tidak keliru, Bank Pembangunan Daerah). Dijelaskan kepada penulis, bahwa Barry Loekman sebagai juru tulis yang bekerja pada kantor tersebut, di samping sebagai wartawan surat kabar Tjahaja, dan juga sebagai pengawal pribadi Oto Iskandar Dinata.<iframe id=’websites_iframe’ expr:src=’&quot;http://www.linksalpha.com/social?link=&quot; + data:post.url + &quot;&quot;’ frameborder=’0′ height=’25px’ scrolling=’no’ width=’320px’/>

Tak lama setelah Sang Saka Merah Putih berkibar di depan kediaman Proklamator Republik Indonesia (RI) Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, pemuda Bandung pun segera beraksi mengibarkan kedaulatan RI di tanah Priangan.
Yang menjadi saksi bisu kala itu adalah bangunan Bank Jabar Banten, Jalan Naripan Bandung. Disanalah, bendera Merah Putih pertama kali dikibarkan di kota kembang pada 17 Agustus 1945.
Dalam catatan sejarah, proklamasi memang tidak dilepaskan dari peran wartawan. Termasuk dalam pengibaran bendera di Bandung tersebut, seperti yang diungkapkan oleh sejarawan dari Universitas Padjadjaran Bandung Ahmad Mansyur Suryanegara, motor penggeraknya adalah wartawan bernama Bari Lukman. Beberapa decade kemudian, Bari Lukman dikenal sebagai wartawan Pikiran Rakyat setelah bergabung dengan tim pimpinan Sakti Alamsyah.
Bendera Merah Putih yang berkibar di Bandung adalah milik K.H. Isa Asyari, seorang Masyumi. Bukan hal yang mengherankan jika ulama pada masa pendudukan Jepang diperbolehkan menyimpan bahkan mengibarkan bendera nasional disamping bendera Jepang. Hal itu, menurut Mansur, karena para ulama memang sengaja didekati oleh Jepang untuk bersekutu melawan Belanda.
Jepang menyadari, kekuatannya menghalau Belanda yang kental Protestan akan lebih kokoh jika mendapat suntukan dukungan dari ulama yang di Indonesia memegang peranan penting. Namun, apapun alas an Jepang, yang penting itu membuat kemerdekaan bias tertancap di tanah Priangan.
**
Sebenarnya, perjuangan untuk mendapatkan Bendera Merah Putih pada masa Jepang bukanlah hal yang mudah. Pada masa itu, kain tekstil susah ditemui sampai-sampai kebanyakan rakyat menggunakan karung goni sebagai pembalut tubuh mereka. Kain-kain sarung pun, menurut Mansur yang juga menjadi saksi sejarah saat itu, mudah sekali robek khususnya ketika pemakainya akan naik kereta api.
Lalu, dalam runutan sejarah lain disebutkan Jepanglah yang membantu menyediakan bendera tersebut. Hal itu berawal dari janji Jepang pada 7 September 1944 yang akan memerdekakan Indonesia, kelak di kemudian hari. Jepang mulai mengizinkan Merah Putih berkibar di samping Hinomaru.
Kepala Barisan Propaganda di Gunseikanbu (Pemerintahan Militer Jepang di Jawa dan Sumatera) Shimizu pun meminta Soekarno membuat bendera yang paling besar. Namun, karena keterbatasan kain tekstil akhirnya Shimizu memerintahkan perwiranya memberikan dua blok kain katun halus merah dan putih dari gudang di Jalan Pintu Air Jakarta Pusat.
Upaya mendaptkan kain tersebut tak luput dari keberhasilan istri Soekarno, Fatmawati, melunakkan hati perwira Jepang. Fatmawati pun lantas melanjutkan “perjuangannya” yaitu menjahit kain itu dengan mesin jahit tangan.
Kandungannya yang sudah tua saat itu memang membuatnya kerepotan sehingga memakan waktu dua hari untuk menyelesaikan bendera berukuran 2×3 meter tersebut. Namun, itu tak sia-sia. Karena sebelum proklamasi, Sang Saka Merah Putih sudah berkibar beberapa kali disamping bendera Jepang sampai akhirnya dia menjadi bendera yang “merdeka”. (Amaliya/”PR”)***
Sumber : Pikiran Rakyat, 16 Agustus 2010.

“Di sini Radio Bandung, siaran Radio Republik Indonesia…,” Demikian suara penyiar muda Sakti Alamsyah. Ketika itu Sakti Alamsyah yang berumur 23 tahun, mengawali pengumandangan naskah proklamasi dari studio Bandung Hosyokyoku, 17 Agustus 1945, pukul tujuh malam. Melalui siaran yang disebarluaskan lewat pemancar Malabar itulah, kabar kemerdekaan sebuah Negara baru bernama Indonesia diketahui orang, tak hanya di seluruh pelosok nusantara, tetapi juga di seluruh dunia.
Odas Sumadilaga (89), rekan penyiar Sakti, menuturkan pengakuan Imron Rosyadi, sang adik ipar, yang mendengar penyiaran proklamasi itu ketika berada di Bagdad, Irak. Imron yang tercatat pernah menjabat Ketua Komisi I DPR RI periode 1971-1991, ketika itu tengah berlibur dari rutinitasnya sebagai seorang mahasiswa di salah satu universitas di Kairo, Mesir.
“Yang membuat ia yakin bahwa siaran itu memang berasal dari Radio Bandung adalah suara Sakti yang cadel, tidak bias mengucapkan ‘r’. Suara cadel itu yang ia ingat betul’’, ujar Odas.
Sakti memang cadel. Sepanjang siaran mengumandangkan naskah proklamasi tersebut, tampak jelas kesulitan Sakti, yang di kemudian hari terkenal sebagai salah seorang tokoh persuratkabaran nasional itu, ketika harus mengucapkan huruf ‘r’.
Ada dua versi cerita dari mana teks proklamasi yang dibaca Sakti dan kawan-kawan ini diperoleh. Versi pertama, teks diperoleh melalui kurir dari Muin, Kepala Siaran Radio Jakarta. Ia yang memperoleh salinan tersebut dari Adam Malik, pemimpin Kantor Berita Antara. R.A. Darya, pemimpin siaran Hosyokyoku, menerima teks itu pukul lima sore.
Versi kedua, dan ini diamini oleh Odas, teks teks diperoleh dari bulletin Kantor Berit Domei di Jalan Pos Bandung, sekarang Jalan Asia Afrika. Sebelumnya, mereka mencari di kantor surat kabar Tjahaya. Menurut Odas, ketika mereka dating, pintu gedung kantor itu digembok. Tak seorang pun bias ditemui. Teks harus dicari sendiri oleh para penyiar Hosyokyoku karena dua teknisi mereka yang dipanggil ke Jakarta untuk mempersiapkan penyebarluasan proklamasi, Sukiyun dan Mislan, pulang ke Bandung pada sore harinya tanpa membawa salinan proklamasi. Upaya menyabarluaskan pembacaan proklamsi itu gagal karena Jepang melakukan pengawasan ketat, termasuk pemutusan jaringan telefon.
Jika dicermati, ada perbedaan kecil dalam teks proklamasi yang disiarkan Sakti dengan teks yang dibaca Soekaeno di Jakarta. Sebagai kalimat penutup, Sakti mengucapkan “Wakil-wakil Bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta”’ sementara dalam proklamasi Soekarno, terdengar “Atas Nama Bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta”. Tak diketahui pasti bagaimana asal muasal perbedaan itu.
Satu lagi yang menarik adalah pengucapan Radio Republik Indonesia untuk menamai diri dalam pengantar siaran, dengan mengabaikan nama lama Bandung Hosyokyoku. Pasalnya, meski kemerdekaan sudah diproklamasikan hari itu, bentuk nagara belum disepakati. Ini sebuah kalimat futuristic. Negara baru itu kelak memang diputuskan berbentuk republic, dan nama radio nasional juga persis seperti yang diucapkan pertama kali oleh Sakti.
Harus diakui, inisiatif para pekerja Bandung Hosyokyoku untuk menyiarkan teks proklamasi adalah sebuah keputusan berani. Meski lewat radio bawah tanah, diketahui bahwa Jepang sudah tersudut dalam Perang Asia Pasifik, belum diketahui pasti bagaimana “saudara tua” itu akan menyikapi penyebarluasan kemerdekaan lebih awal dari tahapan-tahapan kemerdekaan Indonesia yang merka janjikan. Tanpa takut, para pegawai Bandung Hosyokyoku berulang-ulang menyiarkan naskah proklmasi itu setiap kali ada kesempatan. “Kalau ada pendengan yang mau tahu seperti apa bunyi proklamasi itu, kami bacakan lagi teks tersebut. Begitu terus dalm beberapa hari,” ucap Odas.
**
Saat proklamsi dikumandangkan, baik di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta, maupun di udara lewat pemancar radio, sambutan gegap gempita dating dari mana-mana. Sejenak, semua orang seolah lupa bahwa teks proklamasi yang dibacakan ketika itu amat berbada isinya dengan naskah yang dibuat Panitia Sembilan, bagian dari Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), pada 22 Juni 1945. Baru belakangan, hal ini menjadi sebuah kontroversi resendiri.
Rumusan yang ditetapkan Panitia Sembilan tersebut, selanjutnya terkenal dengan nama Piagam Jakarta, merupakan bagian dari rangkaian pembahasan Dasar Negara, yang hari ini kita kenal sebagai Pancasila, dan tercantum dalam preambul atau pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Isi Piagam Jakarta yang menjadi kontroversi menarik adalah sila pertama yang berbunyi: Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Pencantuman tujuh kata terakhir ini yang menjadi yang bamyak menjadi bahasan.
Muhammad Hatta lewat autobiografinya Memoir mengisyaratkan bahwa tak digunakanya Piagam Jakarta dalam teks proklamasi hanyalah perkara teknis belaka. Pada malam menjelang 17 Agustus itu, dalam rapat di rumah Laksamana Maeda, tidak ada satu pun dari keempat orang yang merumuskan teks proklamsi, yakni Soekarno, Soekarni, Sayuti Melik, dan dirinya sendiri, yang membawa teks proklamasi buatan 22 Juni tersebut. Oleh karena itulah, Soekarno meminta Hatta membuat taks ringkas. Begitulah teks dua kalimat itu dibuat. Hatta mengucapkan, Soekarno menulisnya. Sayuti Melik kemudian mengetik teks tersebut. Kalimat pertama merupakan hasil kesepakatan keempat tokoh yang mengacu pada pembukaan UUD. Kalimat kedua sepenuhnya merupakan sumbangan Hatta.
Kejadian dini hari itu teramat biasa untuk sebuah kemerdekaan sebuah bangsa yang diimpikan dan diperjuangkan selama puluhan tahun. Soekarno, dalam bografinya Penyambung Lidah Rakyat karangan Cindy Adams menggambarkan betapa biasanya peristiwa malam itu dengan amat menarik. “Tidaklah pernyataan itu dituliskan di atas perkamen dari emas. Kalimat-kalimat itu hanya digoreskan pada secarik kertas. Seseorang memberikan buku catatan bergaris-garis biru seperti yang dipakai pada buku tulis anak sekolah…” ungkapnya.
Kontroversi pertama terkait penghilangan tujuh kata buatan Panitia Sembiln, muncul sehai setelah proklamasi dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) untuk membuat UUD. Sebelumnya Hatta mendapat informasi dari seorang opsir Angkatan Laut yang bercerita tentang keberatan tokoh-tokoh Katolik dan Protestan atas tujuh kata tersebut. Alasannya, karena UUD berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia sebaiknya tidak ada pengecualian, meski untuk pemeluk agama mayoritas. Jika dipaksakan, mereka menilai hal ini sebagai sebuah diskriminasi dank arena itu mereka siap berdiri di luar republic.
Hatta pun sigap dengan menggelar rapat pendahuluan sebelum siding PPKI dengan beberapa tokoh Islam, seperti Wahid Hasyim dan Ki Bagus Hadikusumo. Berdialog selama lima belas menit, mereka sepakat, sila pertama diganti menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”. Menurut Hatta, jika tetap ada aspirasi utnuk menetapkan peraturan dalam kerangka Syariat Islam, pintu tidak pernah tertutup rapat. Ada penyaluran yang tepat yakni dengan mengusulkan rencana UU ke DPR.
**
Sejarawan Universitas Padjadjaran Bandung, Sobana Hardjasaputra berpendapat, kesepakatan para pemimpin bangsa ketika itu untuk menanggalkan tujuh kalimat dalam Piagam Jakarta merupakan sebentuk kebesaran hati para tokoh Islam. “Meski merupakan kalangan mayoritas, mereka mau meletakkan persatuan bangsa lebih tinggi dari kepentingan golongan,” paparnya.
Sudut pandang lain diberikan sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara. Menurut dia, Piagam Jakarta “sulit” dijadikan naskah proklamasi karena bermacam pertimbangan politis. Pertama, isi Piagam Jakarta “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan” merupakan kalimat yang luar biasa berani bagi bangsa yang baru lahir. Karena dalam hal ini, Indonesia akan berhdapan dengan Negara-negara sekutu yang lebih kuat.
Pertimbangan kedua, dengan menyerahnya Jepang, Sekutu meghendaki Belanda kembali menjajah Indonesia sebagai daerah jajahan lama. Nahasnya, Rusia sebagai kiblat komunis pun mendudkung rencana Sekutu itu. Otomatis, Partai KOmunis Indonesia (PKI) yang saat itu telah berkembang di Indonesia mengerucut kepada tujuan yang sama dengan Rusia. Di sisi lain, meskipun Jepang dikabarkan menyerah pada 14 Agustus 1945, sebenarnya secara hitam di atas putih belum ada kesepakatan dengan sekutu. Rencananya, perjanjian itu dilakukan pada 16 September 1945. Jepang pun, yang pada 7 September 1944 menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia, meski belum jelas waktunya, akhirnya menolak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Dalam keadaan tertekan seperti itu, akhirnya Soekarno memutuskan untuk melahirkan naskah proklamasi baru yang diringkas. Teks itulah yang kemudian menggema di Pegangsaan Timur dan yang tersiar ke seluruh dunia berkat siaran Radio Bandung. (Amaliya/Ag. Tri Joko Her Riadi/”PR”)***
Sumber: Pikiran Rakyat, 16 Agustus 2010

TakbanyakbukusejarahmengulasKongresPemudaSeluruhJawa di Bandung padapertengahan Mei 1945.SudahpastiperistiwaitukalahgaungnyadibandingkandenganSumpahPemuda 17 tahunsebelumnya, dankalahserudibandingkandenganpenculikanSoekarno-HattakeRengasdengklokpada 16 Agustusolehpemuda, meskisama-samaterjadidalamkerangkatuntutanpemudaataspercepatanProklamasiKemerdekaan. Meskidemikian, tetaplahmenarikmenelusuriperistiwatigaharisejak 16 Mei tersebut.
Kongres di Bandung diprakarsaiolehAngkatanMoeda Indonesia (AMI).OrganisasiinibentukanJepangpadapertangahan 1944, sebagaibagiandariupayapenjajahmengambilhatirakyat Indonesia.Namun, dalamperkembangannya, ideology perjuangan AMI membelot, menginginkankemerdekaan Indonesia.Kongresdihadiritakkurangdariseratusutusanpemuda, pelajar, danmahasiswadariseluruhJawa.Beberapanama yang tercatathadirdiantaranyaDjamal Ali, ChairulSaleh, Anwar Tjokroaminoto, danHarsonoTjokroaminoto.
Tujuankongresadalahmempersiapkandirimemproklamasikankemerdekaan Indonesia yang bukanmerupakanhadiahdariJepang.Padahariketiga, diperolehduaresolusi.Pertama, semuagolongan, harusdipersatukandandibulatkan di bawahsatupimpinannasional.Kedua, mendorongdipercepatnyapelaksanaanpernyataankemerdekaan Indonesia.
SejarawanSobanaHardjasaputramengakutakheranbahwakongrespemudatersebutdilakukan di Bandung.Sejak lama, Bandung sudahkentaldengan aroma perjuanganmenujukemerdekaan.Soekarnosendirimemulaikarierpolitiknyasemasamenjadimahasiswa di Bandung denganmendirikanpartaidanmenerbitkansuratkabar. Gelar ‘SingaPanggung’, karenakepiawaiannyaberpidato, diperolehnya di kotakembangini.
MeskikeduarevolusiKongres Bandung terkesanrevolusioner, padapraktiknyasemuaberjalanlembek.Kongrestak bias menolaksamasekalikerjasamaeratdenganJepangdalammencapaikemerdekaan. Hal inimembuatsebagianpemudakecewa.Diaantaramerekaadautusan-utusandari Jakarta yang dipimpinSukarni, HarsonoTjokroaminoto, danChairulSaleh.Merekamenginginkangerakan yang lebihradikal.
Saatpertemuanrahasia pun dilangsungkan di Jakarta pada 3 Juni 1945.Ketikaitu, terbentuklajpanitiakhusus yang diketuaioleh B.M. Diah, dengananggotanyaSukarni, Sudiro, SjarifThajeb, HarsonoTjokroaminoto, Wikana, ChairulSaleh, P. Gultom, dan Asmara Hadi. Pertemuanserupadiadakanpada 15 Juni 1945 danmenyepakatipembentukanGerakanAngkatanBaroe Indonesia (GABI).Tujuandarigerakaninimenunjukkansifatnya yang lebihradikal.Empatresolusi GABI adalahpencapaianpersatuandiantaraseluruhgolonganmasyarakatIndonesia, penanamansemangatrevolusionermassaatasdasarkesadaransebagairakyat yang berdaulat, pembentukan Negara KesatuanRepublikIndonedia, danmempersatukan Indonesia bahu-membahudenganJepang. Akan tetapijikaperlu, gerakanitumestimencapaikemerdekaandengankekuatannyasendiri.
Sobanmenilai, berbagaikegiatan yang dilakukanpemudamenunjukkansifatkhaspemudadalammassaperjuangankemerdekaan, yakniserbatergesa. Hal inilantasmemuncakpadapenculikanSoekarno-HattakeRengasdengklok.“Pemudaamatyakindengankekuatanbangsauntuksegeramemproklamasikankemerdekaan.Sebaliknyagolongantua, diwakiliSoekarno, sangatberhati-hatidalammengambilkeputusan.Diatiadakmaujatuhkorban yang besar di tengahrakyatkalaudampaiterjadiperangfisik,” ujarnya.(Ag. Tri Joko Her Riadi/”PR)***
Sumber: Pikiran Rakyat, 16 Agustus 2010.