Dalam usianya yang renta, 89 tahun sekarang. Odas Sumadilaga masih mengingat benar banyak hal yang dia alami di seputar proklamasi kemerdekaan. “Masa-masa sebelum dan sesudah proklamasi merupakan masa yang serba tak menentu. Kita tak tahu orang yang kita ajak bicara itu kawan atau lawan. Oleh karena itu, sepanjang hari saya habiskan di studio. Makan dan tidur di sana, “kata mantan penyiar Bandung Hosyokyoku yang kini tinggal bersama keluarganya di Jalan Dr. Slamet Nomor 28 Bandung.
Odas, kelahiran Cianjur, 5 Mei 1921, masuk Hosyokyoku sejak 1 Mei 1942. Sebelumnya, lulusan NISVO Frobel Kweekschool tersebut mengajar di HIS ‘Pasundan’ II Bandung. Dia menjadi satu-satunya perempuan yang banyak terlibat dalam kegiatan penyiaran radio yang beralamat di seberang Lapangan Tegallega sekarang ini di Jalan Mohammad Ramdan.
Memasuki masa revolusi pascaproklamasi kemerdekaan, Odas melepas pekerjaan di Radio Republik Indonesia dan terpaksa ikut mengungsi ke Ciparay, Cicalengka dan terakhir ke Tasikmalaya. Di Tasikmalaya inilah dia melahirkan putri pertamanya, Yooce Rasyid. Sesudah keadaan tenang, dia kembali ke Bandung dan mengajar di beberapa taman kanak-kanak. Di masa tuanya, Odas aktif sebagai pengurus dan anggota dewan pertimbangan di berbagai Organisasi Wanita (BKOW), Yayasan Dewi Sartika, dan Wirawati Catur Panca.
Salah seorang kawan penyiar Odas, yang sama-sama pernah mengumandangkan teks proklamasi adalah Sakti Alamsyah. Suaranya yang cadel tak bias mengucapkan ‘r’, mengudara hingga Bagdad dan Amerika. Pria kelahiran sungai Karang, Sumatera Utara, 27 Januari 1922 tersebut kemudian terkenal sebagai tokoh persuratkabaran dengan merintis pendirian Pikiran Rakyat, Koran Jawa Barat. Yang mungkin tak banyak diketahui orang adalah kegemaran lain Sakti, yaitu mencipta lirik lagu. Beberapa karya tokoh yang meninggal pada 28 April 1983 itu antara lain adalah lirik lagu “Bintang Malam”, “Lukisan Malam”, “Bulan Sabit”, “Mengatur Barisan”, “Tiada Lagi”, dan “Aduh Seroja”.
Selain Odas dan Sakti, tes proklamasi juga disiarkan secara bergantian oleh beberapa pegawai Hosyokyoku yang lain, seperti Sam Amir dan R.A. Darya. Karena menjangkau seluruh dunia, proklamasi disiarkan tak hanya dalam Bahasa Indonesia, tetapi juga dalam Bahasa Inggris.
**
Radio Hosyokyuku, dengan jajaran pemimpin orang-orang Jepang, menyiarkan berita-berita yang sudah disensor dengan kepentingan Jepang. Lagu-lagu Barat yang akan disiarkan pun mesti melalui proses sensor. Menurut Odas, tak sedikit piringan hitam berisi lagu Barat yang sengaja dihancurkan orang Jepang dengan cara ditumbuk. Fungsi Hosyokyoku sebagai alat propaganda Jepang makin tampak ketika berkecamuk Perang Asia Timur Raya. “Berita-berita pertempuran melawan Inggris dan Amerika adalah berita-berita yang meresahkan dan mengganggu ketenangan bekerja,” kata Odas mengomentari upaya propaganda tersebut.
Hari-hari sebelum proklamasi pada 17 Agustus, suasana di Hosyokyoku sudah tak menentu. Bos-bos asal Jepang sudah sering absen ke kanor. Yang membuat deg-degan adalah keberanian para pegawai teknik mendengarkan siaran gelombang pendek yang dilarang. Dari sanalah, kabar kekalahan Jepang diperoleh. Jika kegiatan semacam itu ketahuan, hukuman dari ‘Saudara Tua’ bakal dating tanpa ampun.
Oleh karena itu, Odas dan seluruh pegawai ketakutan benar ketika pada suatu hari dating salah seorang petinggi radio asal Jepang. Merka sudah siap membubarkan diri, tetapi keburu dicegah sang bos. Namun, bukannya memberi hukuman, orang Jepang itu malahan merangkul para pegawai satu per satu dan memberikan semua barangnya, termasuk dompet dan jam tangan. Odas kebingungan menerima dompet tersebut. Akan tetapi, kemudian dia tahu, itu adalah semacam acara perpisahan dari “Si Jepang”.
Sesudah pengumandangan proklamasi, situasi di Bandung lebih tak karuan lagi. Ketegangan berlangsung setiap hari. Ada cerita tentang penangkapan pegawai-pegawai RRI oleh tentara Jepang. Beberapa orang ditangkap, tetapi Sakti yang jadi sasaran karena turut menyiarkan teks proklamasi konon justru lolos karena sedang membeli rokok ketika dua truk tentara datang. Namun, menurut Odas, taka da pegawai RRI yang ditangkap.
Yang justru diingat benar oleh Odas adalah insiden 20 Agustus pagi. Ketika itu, saat berjalan menuju studio dari rumahnya di Jalan Tegallega, didengarnya suara menggelegar. Dia pun segera tiarap di tengah lapangan. Dari sana, Dia melihat GEdung Radio Republik Indonesia, eks Hosyokyoku, dimortir hingga tiga kali. Menurut kabar, hal itu dilakukan para tentara Jepang dari Javasche Bank, sekarang Bank Indonesia.
Odas berfikir, studio tempatnya bekerja pastilah hancur. Pecahan kaca dan puing-puing dia temui berserakan di halaman. Namun, dugaannya salah. Ketika masuk studio, piringan hitam berisi lagu pembukaan RRI Bandung masih berputar. Yang hancur hanyalah ruang kepala teknik.
Pengalaman Odas dan Sakti menunjukkan kesungguhan dua pemuda dalam menyokong kemerdekaan lewat sumber daya yang mereka miliki. Dengan posisi apa pun, bahkan ‘Cuma’ seorang penyiar radio, orang dapat melibatkan diri dan mengambil pernan secara positif. Ini semua perkara keberanian memutuskan. Odas, Sakti, dan kawan-kawannya di Hoshokyoku melakukan itu. (Ag. Tri Joko Her Riadi/”PR”)***
Sumber: Pikiran Rakyat, 16 Agustus 2010.